Tiket

Hujan turun siang itu. Langit yang sejak satu jam lalu berwarna abu-abu, sekarang semakin gelap. Lampu ruangan dinyalakan. Dari lantai tujuh kantornya, Sinta memperhatikan setiap tetes air yang menghantam jendela di sampingnya, seperti ribuan jarum yang mencoba menembus kaca dan menimbulkan suara gemerisik. Perlahan setiap tetes itu menari sebentar sebelum akhirnya meluncur ke jalan di bawahnya. 

 

Kota di luar sana berdenyut dalam ritme yang tidak pernah berubah, seperti jam tua yang tetap berdetak meski tidak lagi menunjukkan waktu yang benar. 

 

Sinta menghela nafas panjang. Layar komputer di hadapannya menampilkan laporan yang harus ia rekap sebelum jam makan siang. Tugasnya sebagai analis data keuangan di sebuah perusahaan konsultan terkesan cukup prestisius. Orang-orang yang dia kenal dan saudara-saudaranya menganggap ia hebat juga beruntung. 

 

Pekerjaan ini awalnya menarik bagi Sinta. Upah yang layak, tugas yang pasti dia selesaikan dengan baik, serta rekan kerja yang juga jadi sahabatnya membuatnya sangat nyaman. Tapi setelah empat tahun tenggelam dalam pola yang sama, rasa jenuh mulai menggerogotinya. 

 

Setiap pagi, ia sudah tahu apa yang akan dihadapi. Tumpukan data, pertemuan yang bertele-tele, bos yang sangat perfeksionis, dan hal-hal lainnya. Tidak ada tantangan, tidak ada gairah. Hanya angka-angka dan waktu yang berjalan begitu saja. 

 

“Sin, laporannya udah beres?” suara Beny-atasannya, membuatnya sedikit tersentak. 

 

Sinta menoleh. “Hampir selesai, pak. Sebentar lagi saya kirim.” 

 

Beny mengangguk. Tanpa banyak bicara, ia kemudian masuk ke ruangannya. 

 

*** 

 

Jam makan siang, hujan sudah berhenti dan meninggalkan jejak basah di kaca, dedaunan, dan jalanan. Cahaya matahari menyelinap dari sela-sela sisa awan hujan. Orang-orang di ruangan itu satu persatu keluar.  

 

“Ikut nggak?” Rina menyentuh bahu Sinta, suaranya sehalus bisikan, seolah ia takut mengganggu sahabatnya itu dari kesunyian yang mengelilinginya. 

 

“Aku bawa bekal,” jawabnya sambil memberikan seulas senyum. 

 

“Mau titip?” 

 

Sinta menggeleng. “Nggak ah, makasih,” 

 

“Kopi?” 

 

“Nggak, eh.” 

 

Rina tahu ada yang sedang tidak beres dari sahabatnya. Berkali-kali ia bertanya, tapi berkali-kali pula Sinta menjawab “nggak apa-apa”. 

 

“Yaudah kalau mau titip telpon aja ya,” kata Rina sambil berlalu. 

 

Sinta mengeluarkan kotak bekalnya, lalu mengecek ponselnya. 

 

Ada pesan masuk dari ibunya : “Sabtu ini mau pulang?” 

 

Hampir satu menit ia memandang tulisan itu, hingga layar ponselnya meredup lalu mati sendiri. 

 

Ia menyalakan ponselnya lagi, dengan ragu akhirnya ia mengetik sesuatu : “Ngga tahu, nanti aku kabarin ya.” 

 

*** 

 

Malamnya, hujan kembali turun. 

 

Sinta berdiri di dapur kecil kamar kostnya. Lampu LED bulat yang menggantung di langit-langit menyinari air dalam panci yang mendidih. Ia memasukan mie instan. 

 

Dari ruang depan, sayup terdengar suara televisi. Bukan karena ada acara yang ia tonton, tapi bunyinya cukup bisa menepis kesunyian. 

 

Ponselnya tergeletak di meja. Sesekali menyala sendiri karena notifikasi dari aplikasi-aplikasi sosial media yang sudah jarang digunakan.  

 

Diantara notifikasi-notifikasi itu, terselip satu pesan yang sejak sore tadi sengaja tidak ia buka. 

 

“Maaf, aku harus lembur lagi.” 

 

Hubungan Sinta dan pria itu seperti tanaman di pot yang tidak lagi disiram, tapi tidak juga layu. Hanya bertahan karena akar yang sudah menjalar ke setiap ujung bagian pot. Kadang ia bertanya-tanya, apakah rasa cinta bisa berubah bentuk menjadi hanya… kebiasaan? 

 

Suara hujan terdengar makin deras, sekarang sesekali diselingi dengan deru angin.  

 

Sinta menadah mangkuk mie-nya dari dapur, lalu duduk bersila di depan televisi yang sekarang menampilkan iklan sabun mandi. 

 

Tiba-tiba listrik padam. 

 

Ruangan itu tenggelam dalam gelap dan hanya diterangi cahaya samar dari luar jendela. Sinta menarik napas. Dengan pelan ia menaruh mangkuk mie-nya di atas meja dekat televisi, lalu meraba-raba ke tempat terakhir ia menaruh ponselnya.  

 

Tangannya meraba permukaan dingin ponsel, menyentuh layarnya. Notifikasi berderet, tapi tidak sedikit pun ada keinginan untuk membukanya. Ia hanya menyalakan senter di ponselnya, dan mengarahkan cahayanya ke arah mangkuk mie.  

 

Tapi ketika ia menyentuh mangkuk hangat itu, nafsu makannya seperti lenyap. Ia kembali menarik napas panjang. Ada sesuatu dari dalam dirinya yang tiba-tiba bergejolak. Ia mengalihkan tatapan ke arah jendela yang sekarang memantulkan bayangan samar-samar dirinya. Cukup lama ia menatap bayangan di depannya. 

 

Sesuatu yang bergejolak itu kini semakin kuat dan entah sejak kapan jantungnya berdebar semakin kencang. 

 

Tangannya kembali meraih ponsel, menyambar tas selempang dan jaket yang tergantung di dinding kamar. Dalam hitungan detik ia membuka pintu dan melangkah keluar. 

 

Hujan langsung menyambutnya dengan brutal. Ribuan jarum yang tadi siang ia lihat menghantam jendela kantornya, kini menghujam tubuh kecilnya yang setengah berlari di atas jalan beton yang penuh genangan. Guyuran deras membuat jaketnya basah kuyup dalam sekejap. Dinginnya air terasa seperti sengatan listrik, membangunkan seluruh sel tubuhnya yang selama ini tertidur. 

 

Ia terus melangkah menembus gang yang mengarah ke jalan raya. Lampu-lampu jalan juga kendaraan yang lewat tampak buram dan berpendar. 

 

Kakinya terus melangkah, melewati ruko-ruko yang sudah tutup dan pohon-pohon yang menunduk pasrah di bawah derasnya hujan. Untuk pertama kalinya setelah bertahun-tahun, ia tidak memikirkan laporan, tidak memikirkan kekasihnya, tidak memikirkan apapun. Ia hanya merasakan “rasa” dingin air hujan di kulitnya. Suara langkah kakinya membelah genangan air, dan jantungnya masih berdebar kencang. 

 

*** 

 

Sinta melambatkan langkahnya saat tiba di depan sebuah bangunan besar yang terang benderang : Stasiun Kereta Api. 

 

Ia melangkah masuk, meninggalkan jejak basah di lantai yang mengkilap. Suasana di dalam sana kontras dengan keadaan di luar. Beberapa orang tertidur di kursi tunggu, petugas kebersihan bekerja dengan tenang. Di papan keberangkatan elektronik, nama-nama kota menyala dengan jadwal yang pasti. 

 

Langkahnya berhenti di depan mesin tiket. Tangannya seperti otomatis bergerak menyentuh menu-menu di layar lalu menarik selembar tiket yang keluar. 

 

Sinta melanjutkan langkahnya ke kursi tunggu. Di sisi kanan, toko roti kecil masih buka, seorang kasir menguap di balik meja. Ia lalu menatap sekeliling, hanya ada beberapa orang yang duduk. Hampir semuanya memainkan ponsel mereka.  

 

Matanya kembali ke papan keberangkatan. Baris-baris tulisan itu perlahan tampak kabur, berpendar seperti lampu-lampu jalanan yang tadi ia lewati di tengah hujan. Perlahan ia mengusap air di wajahnya, dan di sekitar matanya. Ketika ia kembali membuka mata, cahaya tulisan itu malah tambah berpendar dan semakin meluas hingga seluruh ruangan seperti diselimuti kabut. 

 

Dari kejauhan, ia mendengar suara roda kereta yang bergesekan dengan rel mendekat. Ia berdiri, lalu berjalan perlahan. Lampu-lampu di sekelilingnya semakin redup, dan hanya meninggalkan cahaya tipis yang menuntunnya ke arah peron. 

 

Hujan yang tadinya seperti jarum berjatuhan, kini berubah menjadi seperti untaian benang berwarna perak yang memantulkan cahaya lampu dari kereta. 

 

Pintu gerbong terbuka, hanya ada satu orang yang turun dari gerbong itu. Wajahnya tampak tak asing, dia memakai kemeja kerja rapi dengan rambut diikat. Akhirnya Sinta sadar bahwa perempuan itu adalah dirinya sendiri, setidaknya versi dirinya hingga tadi sore. Mereka saling berbalas senyum. Lalu dengan langkah perlahan namun yakin, Sinta masuk ke gerbong itu. 

 

Pintu di belakangnya menutup dengan bunyi lembut sesaat setelah Sinta masuk. Ia lalu menyusuri lorong gerbong dan duduk di kursi. Dia melihat ke luar jendela, perlahan stasiun di luar sana lenyap, digantikan pemandangan hujan dan kabut. Suara deru mesin dan roda kereta saling bersahutan, sementara di luar sana kabut semakin tebal.  

 

Sinta mengeluarkan ponselnya dari saku, lalu jarinya mengetik pesan : “Aku jadi pulang…” 

 

Ia kembali mengalihkan pandangannya ke jendela, hujan sudah reda dan tidak ada lagi kabut di luar sana. Sinta menghela nafas, lalu memejamkan mata. 

 

Perlahan suara deru mesin dan roda kereta terdengar semakin lembut hingga akhirnya lenyap. 

 

Komentar